Rabu, 12 November 2008

OTONOMI DAERAH

By: Iswara Gautama

Pengertian Otoda

Otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 memuat tentang pemerintahan daerah yang intinya tentang pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah (power sharing), sedangkan undang-undang No. 25 Tahun 1999 isinya tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (financial sharing).

Otonomi daerah menurut undang-undang 22/ 1999 mempunyai penekanan yang sangat berbeda dengan otonomi daerah (OTDA) pada masa lampau. Penekanan Otda pada masa lampau lebih merupakan kewajiban dari pada hak, sedangkan otda sekarang lebih menekankan hak dan kewajiban. Dalam UU No. 22/1999 pemberian otonomi daerah kepada kabupaten /kota didasarkan pada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Makna otda adalah mempercepat terselanggaranya publik serta fasilitas kepada masyarakat agar percepatan pertumbuhan ekonomi dapat dicapai.

Penyelenggaan otda dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas nyata dan bertanggung jawab kepada daerah kabupaten/kota secara proporsional y ang diwujudkan dengan peraturan, dan pemanfaatan nasional yang berkeadilan, serta adanya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Penyelenggaraan otda dilaksanakan dengan perinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Dengan kedua undang-undang tersebut dapat membuka peluang untuk mempercepat wujudnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di daerah secara lebih merata. Hal ini disebabkan karena terjadinya migrasi kapital dan investasi dari pusat ke daerah-daerah. Pelaksanaan otda diharapkan dapat meningkatkan peran pemerintah daerah secara lebih efisien dan efektif dalam pengelolaan dan penanganan sumberdaya alam. Dengan otda pemerintah daerah akan memperoleh bagian dana pembangunan secara lebih proporsional. Daerah lebih leluasa dalam menentukan skala prioritas pembangunan daerahnya, tanpa harus didikte oleh pusat. Selain itu kedua undang-undang tersebut apabila dilaksanakan dengan tepat dapat memberikan harapan dan prospek yang baik bagi penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat ke depan. Dari sisi penyelengaraan masyarakat dengan adanya pelimpahan kewenangan, maka pengambilan kebijakan dapat didekatkan dengan masyarakat. Dengan demikian penyelengaaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat akan semakin memenuhi keinginan masyarakat, teratur, efektif dan efisien.

Dilihat dari dukungan pembiayaan, penyelenggaraan otda diberbagai daerah mempunyai prospek yang baik karena disamping mempunyai wilayah yang luas, juga terkandung SDA yang potensial. Secara mendasar SDA masih menjadi komponen sumber pendapatan daerah yang signifikan yang tercermin dari dana perimbangan keuangan. Antara lain meliputi bagian daerah dari pembinaan PBB, BPHTB, SDA alokasi umum dan alokasi khusus. Sumber pendapatan daerah yang berasal dari perimbangan keuangan merupakan komponen yang terbesar apabila dikelola secara optimal, sebagai contoh 80 % dari penerimaan negara dari SDA sector kehutanan, pertambangan umum dan sector perikanan akan diberikan kepada daerah.

Dengan demikian penyelenggaraan otda menjadi instrumen untuk mengoptimalkan pemberdayaan sumberdaya daerah, sehingga pada gilirannnya daerah mampu menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pembangunan. Dalam kaitan ini maka keberhasilan penyelengaraan otda akan sangat tergantung kepada kemampuan potensi dan sumberdaya daerah (SDM dan SDA) serta infra struktur dan supra struktur lainnya yang ada di daerah.

Perjalanan otonomi daerah yang kini baru berlangsung selama dua tahun mengalami pasang surut dengan ditandai adanya kontroversi antara pemertintah pusat dan daerah.

Pada awal dilaksanakannya otonomi daerah, empat kondisi yang diidentifikasi sebagai kelemahan daerah dijadikan pemicu kontroversi. Pemerintah daerah dianggap belum siap melaksanakan otonomi karena masih lemah dari segi :

t Ketersediaan SDM

t Keuangan

t Peralatan dan

t Organisasi dan manajemen.

Isu sentral yang dikemukakan disamping kelemahan daerah ini ialah para bupati telah kebablasan mendefinisikan otonomi daerah dan munculnya raja-raja kecil di daerah. Perdebatan mengenai otonomi daerah berlanjut pada pengkondisian untuk merevisi untuk merevisi UU No. 22 tahun 1999.

Hakekat dari revisi undang-undang ini adalah pengembalian pelaksanaan otonomi daerah ke pusat (resentralisasi). Tekanan pisikologis dalam upaya resentralisasi ini cukup kuat. Beberapa kewenangan yang sebelumnya diserahkan kepada daerah, ditarik kembali ke pusat dan pengguliran dana perimbangan yang diantaranya terdapat dana bagi hasil SDA daerah selalu terlambat dicairkan.

Dampak dari realisasi pencairan dana yang selalu terlambat sangat mengganggu pembangunan di daerah. Selain proyek-proyek pembangunan yang sudah diprogramkan terhambat, pemerintah daerah juga terlilit defisit anggran karena harus membiayai lebih dahulu proyek yang sudah dilaksanakan. Daerah yang tidak memiliki sumber keuangan yang cukup, terpaksa menghentikan proyek pembangunanan sebelum dana perimbangan cair.

Kondisi ini menimbulkan reaksi yang cukup kertas dari bupati dan walikota se Indones. Disamping itu reaksi juga datang dari tokoh masyarakat, DPRD, LSM, Mahasiswa, kalangan akademisi, dan komponen masyarakat lainnya. Mereka bersatu menuntut keadilan kepada pemerintah pusat . Disisi lain gubernur se Indonesia secara intensif melakukan pendekatan kepada pemerintah pusat untuk merevisi UU No. 22 Tahun 1999. Kotroversi ini relatif mereda setelah revisi diganti menjadi evaluasi.

Untuk itu pemerintah pusat dan provinsi harus konsisten didalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketidak konsistennya pemerintah pusat dapat dilihat antara lain, dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2000, yang mengatur kembali kewenangan di bidang pertanahan. Demikian halnya dibidang kehutanan melalui Keputusan Mentri Kehutanan No. 541/Kpts-II/2000.

Dampak Otonomi Daerah

Sumberdaya alam merupakan modal penting dalam menggerakkan roda pembangunan di suatu daerah, baik dalam konteks negara, propinsi ataupun kabupaten. Oleh karenanya, aspek pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) merupakan suatu yang sangat strategis dalam menentukan jumlah penerimaan atau tingkat kontribusinya dalam menentukan modal pembangunan. Pengelolaan SDA dalam persepektif otonomi daerah pada dasarnya adalah power sharing kewenangan pengelolaan SDA antara pemerintah pusat dengan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.

Menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, kewenangan pendayagunaan sumberdaya alam strategis berada pada pemerintah pusat (pasal 7), walaupun demikian daerah berewewenang untuk mengelola sumberdaya nasional ( sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya manusia) yang tersedia di wilayahnya (pasal 10 dan penjelasannya).

Beberapa masalah yang mungkin timbul sehubungan dengan adanya otonomi ini antara lain adalah:

Timbulnya daerah miskin dan kaya. Seperti yang dikemukakan, penyebaran SDA di Indonesia tidak merata sehingga akan terdapat darah yang kaya dan miskin potensi SDA. Secara nasional, kemungkinan akan menimbulkan ketimpangan kesejahtraan.

Konflik pemanfaatan sumberdaya lintas Kabupaten/Kota. Misalnya pemanfaatan sungai atau daerah tangkapan di daerah hulu, berdampak negatif terhadap kabupaten daerah hilir. Sementara pemeliharaan sungai atau daerah tangkapan hujan yang dilakukan oleh kabupaten di daerah hulu belum tentu mendapat insentif dari kabupaten daerah hilir. SDA lainnya adalah hutan dan mineral yang terdapat dalam satu hamparan yang berbatasan antar kabupaten.

Konflik pemanfaatan sumberdaya open access (laut), misalnya nelayan yang berasal dari suatu kabupaten lain.

Pengurasan SDA, untuk mengejar ketinggalannya suatu kabupaten/kota akan mengeksploitasi sumberdaya secara besar-besaran untuk mendapatkan dana pembangunan, mengorbankan kepentingan jangka panjang untuk kepentingan jangka pendek.

Potensi sumberdaya manusia; kualitas sumberdaya manusia antara lain ditentukan dengan penguasaan ilmu, teknologi, teknologi dan informasi. Kita harus mengakui realita bahwa masih banyak daerah-daerah yang potensi simberdaya manusia masih rendah, Ini sangat berpengaruh terhadap produktivitas, efektivitas dan efesiensi pemanfaatan SDA.

Pembangunan di suatu daerah otonom memperlihatkan kecendrungan untuk meletakkan tekanan utama pada maksimisasi manfaat ekonomi bersih (net economic benefit) sebagai kriteria bagi pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam. Pada sektor kehutanan, suhendang (2000) mengkuatirkan akan mendorong terjadinya fragmentasi lahan hutan produktif kebagian-bagian ekosistem dan kesatuan pengelolaan yang sempit. Hal ini terjadi sebagai akibat tingginya tuntutan pemerintah daerah terhadap hutan guna memenuhi kebutuhan yang bersifat segera untuk membiayai pembangunan daerah. Hal ini mungkin juga terhadap SDA alaml ainnya.

Apa yang Harus Dilakukan

Formulasi pemecahan berbagai problem dasar tersebut memerlukan berbagai pemikiran dan diskusi untuk mencari pemecahannya. Kerja keras yang sistimatis dan terus menerus sangat diperlukan untuk mencapai tujuan pelaksana otonomi daerah. Partisipasi aktif dari semua lapisan masyarakat untuk menggalang sumber daya sangat diperlukan. Oleh karena itu kesiapan masing-masing daerah dalam menyikapi pemberlakuan undang-undang tersebut sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.

Ditinjau dari sudut ekonomi, SDA merupakan bahan baku yang dapat dijadikan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan hidup. Sedangkan ditinjau dari sudut ekologis, SDA merupakan komponen ekosistem ( biotik dan abiotik) yang sangat berperan sebagai life support system manusia dan selalu berada dalam keadaan keseimbangan yang dinamis. Sebagai komponen ekosistem, seluruh jenis SDA saling berinteraksi satu sama yang lain, perubahan yang terjadi pada salah satu komponen akan menyebabkan terjadinya perubahan pada komponen yang lain. Apabila perubahan, yang terjadi melebihi daya lentingnya, maka keseimbangan ekosistem tersebut akan merubah menuju keseimbagan yang baru. Karena karateristik dan kelangsungan ekonomi suatu negara yang ditentkan oleh SDA-nya maka perubahan yang terjadi pada ekosistem (lingkungan) akan berdampak pada perubahan ekonomi.

Pengelolaan SDA berkaitan dengan proses produksi dan konsumsi yang tunduk pada Hukum Thermodinamika I dan Hukum Thermodinamika II. Sebagai implikasinya jika kita ingin melaksanakan pembangunan berkelanjutan, maka pengelolaan SDA tersebut perlu dilakukan secara bijaksana, yaitu dengan mempertimbangkan dan mendasarkan pada karateristik SDA yang bersifat spesifik (Owen, 1980) pengelolaan SDA hendaknya didasarkan pada prinsip sebagai berikut:

1. Tanggung jawab pribadi; tanggung jawab seorang warga negara yang demokratis ditandai dengan rasa tanggung jawab dalam menjalankan kewajiban terhadap pemerintah, sesama manusia, dan SDA.

2. Peranan pemerintah; pemerintah sebagai regulator dalam pengelolaan sumberdaya alam mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena itu pemerintah harus mampu menciptakan suatu system yang dapat menjamin pemanfaatan SDA secara tepat

3. Penggunaan ganda suatu SDA; ketersediaan SDA umumnya terbatas, untuk meningkatkan manfaat SDA dan menghindari konflik kepentingan,maka sedapat mungkin SDA dipergunakan secara ganda

4. Inventarisasi dan proyeksi penggunaan SDA; inventarisasi yang menyeluruh dan proyeksi penggunaan SDA dapat memperkirakan tingkat kecukupan SDA dan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaannya

5. Hubungan pertautan antar suberdaya; antara SDA yang satu dengan SDA yang lain terjalin suatu keterkaitan, perubahan yang terjadi pada suatu SDA akan menyebabkan perubahan terhadap SDA lainnya.

Penutup

Pelaksanaan Otonomi daerah yang sudah berlangsung kurang lebih 4 tahun telah mewarnai kemampuan setiap daerah yang mempunyai sumberdaya yang masing-masing berbeda dan telah berdampak kurang baik terhadap pengelolaan SDA. Kemampuan daerah yang menafsirkan otonomi daerah secara benar akan memanfaatkan sumberdayanya secara lebih baik efisien demikian sebaliknya.

Penafsiran UU No. 22 tahun 1999 harus lebih transparan dan benar terutama mengenai masalah perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang lebih adil dan merata, sehingga SDA dapat dimanfaatkan lebih hemat dan berkelanjutan.

Daftar Pustaka

1. Abdulrachman, S. Sukmana, and J.H. French, A Framework for Compilation of Applied Research Information on Hillslope: Farming, Conservation Policies for Sustainable Hillslope Farming, 1992.

2. Hidayat Pawitan dan Daniel Murdiyarso, Monitoring dan Evaluasi Komponen Biofisik DAS, Lokakarya Pembahasan Hasil Penelitian dan Analisis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Garut, 20-24 November 1995.

3. Norman W. Hudson, A Study of The Reasons for Success or Failure of Soil Conservation Proyect, Soil Resources, Management and Conservation Service, FAO Land and Water Development Division, Silsoe Agricukture Assosiates ampthill Bellford United Kingdom FAO Soils Bulletin 64, 1991.

4. Owen, O.S. 1980. Natural Resources Concervatio: An Ecological Approach . Third Edition. Macmillan Publishing Co., Inc 866 . Third Evenue, New York 10022 883 hal.

5. Suhendang, E. 2000. Fragmentasi Lahan Hutan, Sebuah Ancaman ? Diskusi Panel Otonomi Daerah dan Pengelolaan Kehutanan dan Perkebunan. Diselenggarakan atas kerjasama PPLH IPB dengan Komite Reformasi.

Tidak ada komentar: