Rabu, 12 November 2008

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS), EKOSISTEM DAN PENGELOLALAN

by: Iswara Gautama

I. PENDAHULUAN

Konsep strategi pengelolaan DAS sudah dikenal dibanyak negara maju dan negara berkembang (Philipina, Cina. Jepang dll). Pengelolaan DAS seperti di Indonesia, negara-negara di Afrika dan Amerika Latin dan dinegara Asia lainnya, belum dapat diharapkan hasilnya karena belum adanya kerangka kerja pengelolaan DAS nasional yang benar, sehingga disana-sini timbul masalah kerusakan DAS. Akibat pengelolaan sumber DAS yang buruk dimasa lalu dan sekarang ternyata telah mengurangi secara berarti kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan disuatu negara/daerah.

Upaya pengelolaan DAS terpadu pertama kali dilaksanakan di DAS Citanduy (1981) dengan kegiatan yang bersifat lintas sektoral dan lintas disiplin. Kemudian dikembangkan di DAS Brantas, Jratun Seluna. Proyek-proyek pengelolaan DAS pada saat itu lebih menekankan pada pembangunan infrastruktur fisik kegiatan konservasi lahan untuk mencegah banjir dan erosi yang hampir seluruhnya dibiayai oleh pemerintah dan bantuan asing. Namun walau upaya pengelolaan DAS yang sudah cukup lama dilakukan, ternyata karena kompleksitas masalah, hasilnya belum memadai, terutama yang berkaitan dengan pembangunan SDM dan kelembagaan masyarakat. Selama ini terdapat beberapa kesalahan pembenaran (myth) pengelolaan yang menyebabkan perbaikan kerusakan DAS seringkali tidak memberikan hasil yang optimum dan malah memperparah keadaan. Sebab-sebab kerusakan DAS antara lain timbul akibat :

a. Perencanaan bentuk penggunaan lahan dan praktek pengelolaan yang tidak sesuai,

b. Pertambahan jumlah penduduk baik secara alami maupun buatan,

c. Kemiskinan dan kemerosotan ekonomi akibat keterbatasan sumber daya manusia, sumber alam dan mata pencaharian,

d. Kelembagaan yang ada kurang mendukung pelayanan kepada para petani di hulu / hutan,

e. Kebijakan perlindungan dan peraturan legislatip, tidak membatasi kepemilikan / penggunaan lahan,

f. Ketidakpastian penggunaan hak atas tanah secara defakto pada lahan hutan.

Kerusakan DAS terjadi dibanyak tempat dengan kuantitas yang berbeda sehingga menimbulkan :

a. Penurunan kapasitas produksi sumber lahan akibat erosi tanah dan timbulnya perubahan kondisi hidrologi, biologi, kimia dan sifat fisik tanh,

b. Pengurangan kualitas dan atau kuantitas air permukaan dan air tanah sehingga menambah resiko kerusakan akibat banjir di hilir,

c. Pengurangan kualitas dan atau kuantitas sumber biomassa alam dan mengurangi perlindungan terhadap penutup permukaan lahan oleh tanaman,

d. Penurunan genetik, jenis dan keragaman ekosistim didalam dan diluar DAS,

e. Kerusakan ekosistim terumbu karang di sekitar pesisir pantai.

Untuk membahas dan mempelajari masalah pengelolaan DAS secara berkelanjutan, maka perlu diketahui mengenai istilah, pengertian dan definisi yang berkaitan dengan pengelolaan DAS tsb, yaitu :

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) didefinisikan sebagai suatu daerah yang dibatasi oleh topografi alami, dimana semua air hujan yang jatuh didalamnya akan mengalir melalui suatu sungai dan keluar melalui suatu outlet pada sungai tsb, atau merupakan satuan hidrologi yang menggambarkan dan menggunakan satuan fisik-biologi dan satuan kegiatan sosial ekonomi untuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam.

PENDEKATAN DAS menggunakan pengelolaan DAS untuk perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan sumber daya alam. Yang ditanamkan dalam pendekatan ini adalah pengakuan adanya hubungan erat antara lahan dan air dan antara daerah hulu dan hilir, serta pelaksanaan praktek yang tepat, sesuai dengan sasaran.

PENGERTIAN PENGELOLAAN DAS yaitu merupakan suatu kegiatan menggunakan semua sumber daya alam/biofisik yang ada, sosial-ekonomi secara rasional untuk menghasilkan produksi yang optimum dalam waktu yang tidak terbatas (sustainable), menekan bahaya kerusakan seminimal mungkin dengan hasil akhir kuantitas dan kualitas air yang memenuhi persyaratan (N. Sinukaban, 2000).

TUJUAN PENGELOLAAN DAS adalah Sustainable Watershed Development dengan memanfaatkan sumber daya alam didalam DAS secara berkelanjutan dan tidak membahayakan lingkungan di sekitarnya.

PRAKTEK PENGELOLAAN DAS adalah suatu kegiatan perubahan / upaya pengelolaan dalam penggunaan lahan, seperti : penutup tanaman dan kegiatan nonstruktur lainnya serta kegiatan struktur yang dilakukan di dalam DAS untuk mencapai suatu tujuan.

KONSEP DASAR PENGELOLAAN DAS adalah bahwa keberhasilan pengelolaan akan terwujud bila seluruh pengambil kebijakan seperti : pemerintah, badan pemerintahan negara dan internasional, lembaga keuangan dan masyarakat sendiri ikut berperanan secara aktip mengelola DAS untuk memperbaiki kesejahteraan dan sosial ekonomi negara dan manusia. Setiap kegiatan pengelolaan dilakukan berdasarkan pendekatan secara komprehensif oleh semua pihak terkait dengan menggali semua kemampuan potensialnya seperti : pendistribusian makanan yang merata, luas lahan, produksi kayu dan bahan bakar, sistem hidrologi, penyediaan air irigasi, mengurangi kemungkinan banjir, kekeringan dan bahaya alam lainnya seperti erosi, penggaraman dan penggurunan. Juga kebutuhan akan infrastruktur (sarana dan prasarana), pemasaran dan proses perbaikan kondisi masyarakat dan lingkungan sosial-ekonomi seperti : fasilitas kridit, koperasi, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau.

CIRI-CIRI PENGELOLAAN YANG BAIK yaitu menghasilkan produktifitas yang tinggi dengan meningkatnya : pendapatan; jumlah dan distribusi kualitas dan kuantitas yang baik; mempunyai sifat lentur dan azaz pemerataan.

INDIKATOR PENGELOLAAN DAS YANG BAIK adalah produksi yang berkelanjutan; kerusakan lahan dan air minimum; distribusi hasil air yang berkualitas dan berkuantitas baik; teknologi yang dipakai dapat diterima; dan mensejahterakan seluruh masyarakat yang terkait. Untuk menghasilkan tujuan tsb diperlukan teknologi pengelolaan DAS untuk mengurangi bahaya banjir dan erosi dimusin hujan dan menaikan debit air sungai pada waktu musim kering. Model-model simulasi hidrologi digunakan untuk mendapatkan perubahan tsb berdasarkan teknologi konservasi tanah berupa : cara agronomi; vegetatip; mekanis; dan manajemen. Keberhasilan pengelolaan DAS bukan hanya semata dari tujuan, namun yang penting adalah bagaimana cara mencapai tujuan tsb. Untuk itu diperlukan suatu “usaha/strategi pengelolaan DAS secara berkelanjutan”.

PRINSIP UMUM PENGELOLAAN DAS diidentifikasikan oleh Black (1970), yaitu :

a. Ekologi alami DAS merupakan suatu sistim dan keseimbangan yang dinamis,

b. Mempunyai faktor-faktor yang mempengaruhi run-off,

c. Distribusi air tidak merata dalam siklus hidrologi, sehubungan dengan praktek pengelolaan DAS.

MONITORING DAN EVALUASI

MONITORING adalah suatu kegiatan penilaian yang dilakukan secara terus-menerus pada suatu kegiatan proyek pengelolaan DAS dalam hubungannya dengan rencana kerja pelaksanaan dan penggunaan masukan proyek berdasarkan target jumlah sehubungan dengan harapan perencanaan, jadi merupakan kegiatan proyek secara internal dan merupakan bagian penting dari praktek pengelolaan yang baik, karena itu merupakan bagian terintergrasi dari pengelolaan DAS sehari-hari (W.B/IFAD/FAO-1987). Monitoring juga merupakan suatu kegiatan pengawasan yang dilakukan terus menerus atau secara periodik dari suatu pelaksanaan kegiatan pengelolaan dalam menjamin masukan yang diberikan, rencana kerja, keluaran yang ditargetkan dan kegiatan-kegiatan yang diperlukan lainnya, jadi monitoring merupakan cara kerja yang sesuai dengan perencanaan (UN, 1984). Maksud dari monitoring adalah untuk mencapai kinerja proyek pengelolaan DAS yang efektif berdasarkan ketentuan peninjauan kembali kegiatan pengelolaan proyek pada semua tingkat agar memungkinkan pengelola memperbaiki perencanaan operasionalnya menggunakan kegiatan perbaikan secara cepat pada waktunya. Hal ini merupakan bagian dari sistim informasi managemen yang terintegrasi.

EVALUASI adalah suatu kegiatan penilaian secara periodik terhadap : relevansi, kinerja, efisiensi dan pengaruhnya terhadap proyek sehubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Kegiatan ini umumnya meliputi perbandingan antara informasi yang dibutuhkan dari luar proyek pada suatu waktu, daerah dan populasi (WB/IFAD/FAO, 1987), atau evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan secara sistimatis dan obyektif tentang : relevansi, efisiensi, efektifitas dan pengaruh kegiatan sehubungan dengan tujuan yang ingin dicapai, jadi merupakan proses yang berhubungan dengan pengorganisasian untuk memperbaiki kegiatan-kegiatan yang masih dalam proses serta untuk tujuan perencanaan pengelolaan yang akan datang, penyusunan acara dan dalam membuat suatu keputusan.

II. DAS SEBAGAI SATU EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN

Ekosistem DAS merupakan tingkat organisasi yang lebih tinggi dari komunitas, atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya dimana terjadi antar hubungan. Di sni tidak tidak hanya mencakup serangkaian spesies tumbuhan dan hewan saja, tetapi juga segala macam bentuk materi yang melakukan siklus dalam system itu serta energi yang diperlukan untuk hidupnya semua komunitas tergantung kepada lingkungan abiotik pada DAS tersebut. Organisme produsen memerlukan energi, cahaya, oksigen, air dan garam-garam yang semuanya diambil dari lingkungan abiotik. Energi dan materi dari konsumen tingkat pertama diteruskan ke konsumen tingkat kedua dan seterusnya ke konsumen – konsumen lainnya melalui jaring-jaring makanan.

Meskipun komponen-komponen biologis dari suatu kolam atau padang rumput nampak berada pada system yang tertutup, namun pada kedua ekosistem itu sebenarnya merupakn system yang terbuka yang merupakan bagian dari system aliran sungai yang lebih besar. Fungsi dan stabilitas kolam dan padang rumput ini sepanjang tahun, sangat ditentukan oleh aliran air, materi dan organisme yang masuk dari bagian-bagian lain dari DAS.

Bukan hanya erosi dan kehilagan unsure hara dari hutan yang terganggu atau tanah pertanian yang rusak yang dapat memurnikan mutu ekosistem – ekosistem ini, tetapi aliran keluar yang mengandung bahan organic yang menyebabkan eutrofikasi (perkayaan) dan pengaruh – pengaruh lainnya di bagianhilir. Kerana itu daerah aliran sungai (DAS) sebagaui suatu keseluruhan, harus dipertimbangkan dalam pengelolaan, bukan hanya tubuh perairannya saja atau areal yang bervegetasi saja. Untuk suatu system pengelolaan yang baik setiap meter persegi air, diperlukan paling sedikit 20 kali luas DAS. Namun demikian perbandingan yang paling tepat sangat tergantung pada curah hujan, struktur geologi dari batua di bawah tanah, dan bentuk topografi.

Pengertian DAS dapat membantu memecahkan masalah-masalah konflik yang dapat terjadi di dalam DAS, misalnya penyebab dan pemecahan masalah pencemaran air tidak dapat dicari hanya dengan memperhatikan airnya saja. Pada umumnya pengelolaan DAS yang tidak baik akan merusak sumberdaya air di dalam DAS. Jadi keseluruhan DAS sungai harus dujadikan sebagai satu unit pengelolaan.

III. PENGELOLAAN DAS

Penyelesaian masalah kepemilikan lahan dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa tindakan berupa pembuatan perundang-undangan sebagai landasan kerja dalam melakukan pengelolaan DAS. Pada tahun 1955 perlindungan DAS dan tindakan pencegahan banjir dengan memberikan kewenangan untuk mengelola fasilitas lahan-lahan DAS menggunakan konservasi tanah dan air. Pencegahan banjir di hulu lebih efektif dibanding dengan pencegahan di daerah hilir. Perdebatan pengendalian banjir merupakan sumber utama friksi antara pengelola tanah yang berwawasan lingkungan pada satu pihak dan teknik pengelolaan tanah dipihak lain.

Perencanaan DAS dilakukan pada skala basin sungai dan kegiatan perencanaan sumberdaya air diciptakan oleh suatu badan pengelolaan sumberdaya air. Adanya kegiatan memfasilitasi pembuatan komisi perencanaan basin sungai dilakukan untuk menyelesaikan semua kegiatan kasus-kasus besar untuk mencapai tujuan secara terbatas dab mengontrol kualitas air. Kegiatan tsb perlu dikoordinasikan dengan perencanan dan pemerintah, membuat penjelasan dan penyebar luasan prinsip dan standar perencanaan pengelolaan air dan sumberdaya lahan.

Hubungan antara penggunaan lahan dan kuantitas air diambil sebagai langkah utama amendemen pengontrolan polusi air yang sekarang dikenal sebagai kegiatan air bersih. Langkah selanjutnya mengontrol kualitas air untuk tujuan mengontrol pengelolaan tanah yang diidentifikasikan sebagai pertanian, perkebunan, pertambangan, konstruksi, peresapan air garam, pembuangan air sisa dan pembuangan di atas tanah dan di bawah permukaan melalui perencanaan pengelolaan buangan yang dilakukan secara luas.

Timbulnya gerakan lingkungan sejak tahun 1960 secara terus menerus menghasilkan tuntutan adanya Pengelolaan Ekosistem yaitu integrasi pengelolaan sumber daya alam lintas kepemilikan di daerah perkotaan yang sama sengan di desa. Bentuk ini memberikan lingkungan yang tepat antara unit hydrophere alami, DAS dan kebutuhan seluruh pengelolaan yang berwawasan lingkungan pada tanah negara dan sumber daya air. Pengelolaan DAS harus tetap fleksibel, sesuai dengan fisik, kimia dan sifat biologi yang berhubungan dengan air. Dari sisi politik, pengelolaan DAS harus juga bertanggung jawab terhadap pemberian kesempatan dan tantangan untuk pencegahan, perbaikan, dan tujuan peningkatan pengolahan terhadap kemerdekaan perseorangan dan kepada tujuan dari masyarakat yang mempunyai sumber alamnya sendiri dan yang akhirnya dilola oleh masyarakat itu sendiri.

IV. PENGELOLAAN DAS DAN PERUBAHAN BERSKALA BESAR

Kesadaran adanya perubahan skala besar pada lingkungan bumi dihasilkan oleh teknologi pengawasan dan modeling seperti timbulnya efek rumah kaca; hujan asam; pengaruh penggunaan bahan rumah tinggal, industri dan bahan kimia yang diperdagangkan pada penahan lapisan ozon. Kedua, efek rumah kaca dan hujan asam merupakan sifat lingkungan bumi yang normal dari kehidupan kita selama ini. Efek rumah kaca mempunyai akibat akhir yang menakutkan yaitu pPeningkatan Efek Global, yaitu menimbulkan:

1. Penambahan kadar CO2 yang ditransfer akibat terbakarnya bahan bakar fosil dan penurunan komposisi organik yang keduanya menggunakan oksigen,

2. Kerusakan daerah hutan secara luas.

Akibat penambahan CO2, akan membatasi keluarnya radiasi gelombang panjang, pembatasan bentuk radiasi dan penambahan temperatur menyebabkan bertambahnya evaporasi. Terjadinya pembakaran fosil akan mengakibatkan bertambahnya evaporasi dan berkurangnya radiasi gelombang pendek yang datang. Persoalan hujan asam diperdebatkan. Hujan umumnya bersifat asam, tetapi asam yang berlebih dari pembentukan dan deposisi asam nitrit dan asam sulfur dari atmosfer, dari air atmosfer akan menimbulkan hujan asam.

V. METODOLOGI MODIFIKASI LINGKUNGAN SUMBER DAYA AIR DALAM PENGELOLAAN DAS

Pengelolaan unit dasar ketersediaan air pada pertemuan udara dan tanah hanya merupakan salah satu dari beberapa metodologi untuk satu atau lebih komponen keseimbangan air bagi keuntungan umat manusia. Metoda lainnya termasuk: pengurangan penggaraman, pengurangan evaporasi, modifikasi cuaca, peredaran dan penguapan air.

  1. Teknik pengurangan kadar garam (Desalinization) adalah suatu cara pengurangan secara lambat laun biaya yang perlu dikeluarkan, namun masih lebih tinggi dari metoda alternatif penambahan persediaan air.. Hal ini dilakukan bila tidak menyediakan air bersih berbiaya tinggi atau biaya energi yang murah. Penggunaan tenaga listrik menyebabkan biaya pengurangan kadar garam menjadi mahal, sementara pengembangan teknologi cenderung berkurang, karena itu, teknik ini hanya mungkin untuk daerah dengan kondisi air yang mengandung garam tersebut.
  2. Pengurangan evaporasi dengan pembentukan lapisan monomoleculer pada permukaan tanah mencegah terjadinya penguapan. Dari hasil penelitian diperoleh besarnya pengurangan evaporasi hanya sekitar 10% akibat kesulitan umtuk memelihara lapisan dengan kondisi cuaca yang tidak cocok, terutama faktor angin dalam menambah kehilangan evaporasi. Angin akan mendorong lapisan monomoleculer ke bagian tubuh reservoir besar dimana kehilangan air yang berkumpul dan menumpuk di sepanjang pantai memyebabkan pengurangan evaporasi yang kecil.
  3. Modifikasi cuaca berupa teknologi memodifikasi lingkungan sumberdaya air banyak digunakan. Pekerjaan utama yang dilakukan saat ini adalah memodifikasi angin topan dan memodifikasi pembuatan halilintar untuk menghilangkan panas pada kejadian pembakaran hutan besar dan untuk menghilangkan hujan es pada daerah dimana kerusakan pada tanaman tertentu; menambah presipitasi untuk mengurangi musim kemarau sementara waktu. Metoda ini menunjukan adanya: biaya penambahan presipitasi yang rendah dan mudah dilakukan; biaya operasi langsung mudah dibayar oleh keuntungan penambahan air yang tersedia; ada keuntungan lainnya untuk ketersediaan air yang berlebihan , yaitu untuk menghasilkan listrik, irigasi dan untuk tanaman makanan ternak.
  4. Pengalihan, dipraktekkan secara luas sejak jaman dahulu menggunakan ketersediaan air yang tidak digunakan/berlebihan atau air tersebut sudah digunakan dan secara lokal tidak tersedia. Pada sebagian daerah panas di USA, teknik pengalihan air memberi peranan penting keberhasilan pemperkenalkan, penggunaan, dan modifikasi pendekatan doktrin hak mengenai air (Blach, 1987) yaitu perlunya ijin pengambilan air dari suatu aliran/DAS dan mengirimkannya ke suatu DAS yang lainnya untuk penggunaan yang bermanfaat, dimana airnya tidak perlu dikembalikan kepada DAS asalnya. Pengaruhnya adalah bertambahnya presipitasi, bertambahnya run-off kepada DAS penerima dan akibatnya mengurangi presipitasi dan run-off pada kedua DAS tersebut, sehingga tentunya berkaitan dengan perubahan pada besarnya erosi dan sedimentasi serta flora dan fauna air.
  5. Penyimpanan merupakan teknik pendekatan yang klasik untuk memecahkan masalah kekurangan air untuk sementara waktu. Fungsi penyimpanan (strorage) terutama untuk menyimpan air, tetapi peningkatan pada suatu danau alami yang ada atau basin lahan basah dan percepatan atau peningkatan kembali penyediaan air tanah, juga termasuk pendekatan yang dapat diterima. Pembuatan strorage sudah dikenal sebagai kebijakan yang bijaksana dan teknologi ini menguntungkan secara ekonomi dan lainnya seperti: untuk tempat rekreasi dan olah raga air, pembangkit tenaga listrik, pelayaran dan pengendali banjir.

VII. PELAKSANAAN PENGELOLAAN DAS

Banyak kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki dan menata kembali kerusakan lahan yang terjadi dan dilain pihak perlu melakukan pencegahan kerusakan dimasa mendatang. Semua tujuan ini untuk membuat penggunaan lahan menjadi lebih baik akibat keterbatasan lahan dan sumber air yang ada. Ada sejumlah pelaksanaan pengelolaan DAS dapat digunakan dan dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya. Ada tiga sasaran umum kegiatan pengelolaan DAS yaitu:

1. REHABILITASI

Memperbaiki lahan pertanian/kehutanan akibat erosi dan sedimen yang berlebihan dan bahan-bahan yang mudah larut yang tidak diperlukan akibat run-off dll. Metoda rehabilitasi yang digunakan adalah metoda: tanah hutan, rangeland, tanah pertanian dan saluran aliran. Rehabilitasi sering dibatasi untuk DAS kecil; pengertian rehabilitasi sering digunakan untuk membatasi fungsi DAS yang memerlukan penataan kembali.

2. PROTEKSI

Perlindungan tanah pertanian/kehutanan akibat pengaruh yang membahayakan produksi dan kelestarian menggunakan metoda: tanah hutan, rangeland, pencegahan kebakaran, pencegahan terhadap gangguan serangga/hama serta penyakit.

3. PENINGKATAN

Peningkatan sifat sumber air dilakukan dengan manipulasi ciri-ciri suatu DAS akibat pengaruh hidrologi atau fungsi kualitas air. Tujuan penungkatan pengelolaan DAS didasarkan pada pengakuan bahwa sistem tanah-tanaman yang alami tidak memerlukan produksi air yang optimum. Ketergantungan pada tujuan pengelolaan tanah tertentu, neraca air, cara hidup atau kualitas air dapat dirubah. Semua praktek dan program peningkatan yang sekarang dilakukan (kuantitas air dan cara hidup) dan program perlindungan serta perbaikan, bertujuan untuk mengontrol atau menata kualitas air. Pelaksanaannya antara lain adalah:

§ Penebangan dan Perubahan Tanaman

Umumnya tanaman perlu ditebang agar: mempertahankan pertemuan permukaan pada tahun pertama; menghindari gangguan pada proses hidrologi alami pada bidang pertemuan tanah dan air.

§ DAS Perkotaan

Untuk menjaga sumber utama air di perkotaan, diperlukan pengelolaan pengaruh run-off dari DAS sekitar hutan. Pengawasan rutin perlu untuk menjamin jalannya peraturan bahwa air yang mengalir di saluran/sungai tidak digunakan untuk rekreasi, penggunaan secara perseorangan, tempat pembuangan air kotor dan limbah industri.

§ Memperbaiki Aliran

Pembuatan saluran, pemberantasan phreatophyte, kontrol erosi pada tepi sungai, program jalan masuk aliran, drainase, perlindungan dan penataan kembali terhadap perikanan, serta program pengalihan air perlu dilakukan. Banyak pekerjaan saluran berjangka pendek memberikan keuntungan ekonomi kepada organisasi penyalur tenaga kerja untuk menyalurkan pekerja dalam memelihara saluran yang diperbaiki.

§ Modifikasi DAS

Modifikasi DAS dapat dilakukan dengan batasan adanya perubahan pada: besarnya kemiringan tanah, gradient aliran, ukuran dan harus selalu memperhatikan perubahan pada penutup tanaman yang juga dapat berpengaruh pada perubahan albedo dan berakibat pada banyaknya pola evaporasi dan run-off.

VIII. PENUTUP

1. Adanya perubahan yang terjadi dari ketiga sasaran kegiatan pengelolaan DAS di atas adalah fakta timbulnya perubahan alam yang umumnya merugikan, akibat air yang selalu bergerak lebih rendah akan berpengaruh pada kualitas air.

2. Konsep strategi adalah merencanakan dan menggunakan usaha-usaha untuk mencapai pengelolaan DAS secara berkelanjutan sambil melestarikan dan melindungi DAS dari kerusakan yang terjadi. Usaha yang utama adalah melindungi dan membentuk hutan lindung dan hutan suaka dalam suatu DAS dan melindungi kemerosotan mutu tanah dan air yang berkaitan dengan usaha peningkatan produksi barang dan jasa dalam pengertian ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan. Usaha tersebut membutuhkan penyediaan sumberdaya alam (air, tanah, lahan) yang cukup terjamin baik kualitas maupun kuantitasnya.

3. Paradigma lama pengelolaan DAS menekankan pola Top-Down di tingkat kebijakan, operasional dan pelaksanaan, namun penekanan pada bidang fisik dan ego-sektoral sekarang ini sudah ditinggalkan akiibat kegagalan-kegagalan usaha perbaikan DAS. Paradigma baru yang sekarang dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat petani didalam usaha pengelolaan DAS ditingkat opersional dan pelaksanaan, menggunakan sistem Bottom-Up dan program pegelolaan dilaksanakan secara terpadu oleh para pengambilan keputusan. Ada beberapa hal yang penting didalam paradigma baru adalah:

DAFTAR PUSTAKA

1. A. Abdulrachman, S. Sukmana, and J.H. French, A Framework for Compilation of Applied Research Information on Hillslope: Farming, Conservation Policies for Sustainable Hillslope Farming, 1992.

2. Hidayat Pawitan dan Daniel Murdiyarso, Monitoring dan Evaluasi Komponen Biofisik DAS, Lokakarya Pembahasan Hasil Penelitian dan Analisis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Garut, 20-24 November 1995.

3. Norman W. Hudson, A Study of The Reasons for Success or Failure of Soil Conservation Proyect, Soil Resources, Management and Conservation Service, FAO Land and Water Development Division, Silsoe Agricukture Assosiates ampthill Bellford United Kingdom FAO Soils Bulletin 64, 1991.

4. I. Nyoman Yuliarsana, Agroforestry Dalam Pengelolaan DAS, Agenda dan Strategi Studi dan Penelitian, Bahan Kuliah Pascasarjana IPB, Program Studi Pengelolaan DAS, 2000.

5. Tarigan S.D., Bahan Kuliah Teknologi Pengelolaan DAS, Pascasarjana, IPB, 2000.

6. The WRDP-WMIC Studi Team, The Philippines Strategy for Improved Watershed Resources Management, Forest Management Bureau Departement of Environmental and Natural Resources, Agust, 1998.

7. --------, Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering di Indonesia, Kumpulan Informasi, Bogor, April, 1997.

8. Peter E. Black, Watershed Hidrology, State University of New York, College of Environmental Science and Forestry, Syracuse, New York, Second Edition.

9. State Ministry for Environment Republic of Indonesia & United Nations Development Programme, AGENDA 21-INDONESIA, A Nasional Strategy for Sustainable Development.

10. S.C. Walpole, Integration of Economic and Biophysical Information to Assess The Site-specific Profitability of Land Management Programmes Using a Geographic Information Systems, New South Wales, Australia.

MANUSIA DALAM EKOSISTEM

By: Iswara Gautama

Pendahuluan

Manusia selalu berusaha mengubah lingkungan untuk memperoleh keperluannya. Kadang-kadang dalam kegiatan demikian manusia seolah-olah mengganggu, dan bahkan dapat merusak komponen-komponen biotic. Manusia adalah heterotrop dan paghotrop yang tumbuh dengan subur dekat penghunjung rantai-rantai makan yang kompleks. Ketergantungannya dari lingkungan alam tetap akan terjadi, tidak peduli bagaimanapun rumitnya teknologi yang dimilikinya.

Kota-kota besar merupakan parasit semata dalam biosfir. Makin besar kota imakin banyak mereka meinta dari daerah pinggiran di sekitarnya dan makin besar bahaya serta kemungkinan dari pengrusakan lingkungannya. Sedemikian jauh manusia dengan ilmu pengetahuan dan tehnologinya telah sibuk menaklukkan alam sehingga kurang memperhatikan dan menenggang kesejahtraan mahluk hidup lain sebagai penghuni dalam ekosistem ini.

Setiap orang mempengaruhi lingkungan hidupnya. Makin besar jumlah orangnya, makin besar pula potensi dampaknya. Penelitian di dalam dan di luar negeri menunjukkan bahwa hal ini terjadi juga dalam masyarakat tradisional. Dengan pertumbuhan jumlah penduduknya mereka melakukan eksploitasi lebih pada sumber daya alamnya sehingga terjadi kerusakan. Kerusakan yang terjadi umumnya tidak besar dan luas karena jumlah penduduknya yang kecil dan teknologi yang digunakan sederhana. Tetapi sejarah mencatat juga keambrukan negara karena kerusakan lingkungan hidup misalnya, Mesopotamia. Di daerah pedesaan Jawa Barat kolam ikan yang digunakan untuk mendaur ulang kan limbah domestik, tingkat pencemarannya meningkat seiring dengan kenaikan jumlah penduduknya sehingga kini menjadi sumber penting infeksi penyakit muntah berak.

Jumlah penduduk Indonesia masih mengalami pertumbuhan, walaupun laju pertumbuhannya menunjukkan kecendrungan menurun. Karena itu potensi dampak penduduk terhadap lingkungan hidup akan terus naik. Kenaikan jumlah penduduuk di pedesaan yang tidak memberikan lapangan pekerjaan yang memadai dalam jumlah dan kualitas, mendorong orang untuk beremigrasi ke perkotaan sehingga laju pertumbuhan penduduk di perkotaan meningkat. Sementara itu kemampuan kota untuk memberikan layanan sanitasi masih terbatas sehingga terjadi pencemaran. Misalnya, riul dan selokan tercemar berat oleh limbah domestik.

Bersamaan dengan kenaikan jumlah penduduk, pendapatan kita juga mengalami kenaikan. Kenaikan pendapatan dan perngaruh pola hidup konsumtif yang disebarkan melalui advertensi yang canggih telah mendorong kita untuk mengikuti pola hidup ini. Pola hidup ini mempunyai dua dampak terhadap lingkungan hidup. Pertama, pola ini membutuhkan dana yang makin besar. Untuk mendapatkan dana eksplotasi sumber daya kita makin meningkat dan telah mencapai tingkat yang membahayakan, misalnya pada hutan dan terumbu karang kita. Kedua, tingkat konsumsi kita meningkat mulai dari makanan dan kemasannya sampai pada BBM. Limbah yang kita hasilkan perorang makin besar. Padahal jumlah penduduk juga bertambah. Sementara itu pendapatan kita untuk menangani sampah masih terbatas. Akibatnya di daerah pedesaan banyajk sampah yang masih berserakan. Diperkotaan lebih-lebih lagi. Hanya sebagian yang terangkut menumpuk atau berserakan dan menjadi masalah kesehatan. Bayak pula penduduk yang berusaha memusnahkan sampah dengan membakarnya. Cara ini menghasilkan zat-zat pencemar yang berbahaya. Pembakaran sampah dengan instalasi insinerator perlu juga dilakukan dengan hati-hati, karena banyak insinerator di negara maju ternayata menghasilkan dioxin. Sampah yang terangkut tidak dikelola dengan baik. Tempat pembuangan akhir sampah umumnya menjadi sumber penyakit yang ditularkan oleh hewan, seperti lalat dan tikus.

Pada taraf perkembangan kita sekarang teknlogi belum merupakan sarana untuk mengurangi dampak lingkungan hidup, malahan lebih merupakan faktor yang memperparah dampak. Misalnya, peberian mesin gergaji kepada masyarakat tradisional yang hidup di daerah hutan telah mempercepat penggundulan hutan dan industri kita dengan mesinnya yang tidak efisien energi mempertinggi pencemaran. Demikian pula pengguanaan kendaraan bermotor yang berlebihan telah menyebabkan pencemaran udara yang serius.

Nampaknya peningkatan pendapatan kita telah menyebabkan peningkatan kerusakan lingkungan hidup. Usaha untuk mengubah dampak jumlah penduduk , pendapatan dan teknologi terhadap lingkungan, memerlukan perubahan dalam sikap dan kelakuan kita terhadap lingkungan hidup. Namun adanya krisis lingkungan yang mengancam keberlanjutan pemabngunan kita baik karena dampaknya pada lingkungan biogeofisik maupun lingkungan sosek tidak disadari oleh para pejabat,pakar, kaum elit politik , usahawan dan masyarakat umum. Lingkungan hidup dianggap sebagai isu marjinal. Secara vokal kita memang menunjukkan kesadaran lingkungan hidup yang tinggi, tetapi kerusakan lingkungan hidup dan kerugian yang kita derita menujukkan hal sebaliknya kita berbuat sewenang-wenang pada lingkungan hidup kita.

Sikap terhadap Lingkungan hidup

Prinsip pembangunan berwawasan lingkungan ialah memasukkan faktor lingkungan hidup dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian dampak negatif yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dibatasi samapai pada batas yang minimum. Pembangunan itu bersifat ramah lingkungan. Tetapi walaupun pembangunan ramah lingkungan telah kita setujui bersama, pelaksanaannya menghadapi hambatan besar. Para birokrat, pakar ekonomi, usahawan dan bahkan juga pakar lingkungan hidup berpegangan pada tesis bahwa melindungi lingkungan hidup memerlukan biaya, baik biaya riil maupun baiay kesempatan (opportunity cost). Misalnya, membiarkan hutan sebagai hutan taman nasional yang tidak di balak dan tidak mengembangkan daerah pegunungan untuk pemukiman berarti kehilangan kesempatan untuk menikmati hasil kayu hutan dan pariwisata daerah pegunungan itu. Pembangunan pengolahan limbah industri juga membutuhkan biaya. Dengan demikian pembangunan ramah lingkungan dianggap memerlukan biaya tambahan sehingga mahal. Sebagai bangsayang masih melarat, kita belum mampu menyediakan biaya tambahan untuk pembangunan ramah lingkugan itu. Dengan demikian kita berpendapat sulitlah bagi kita untuk melaksanakan pembangunanramah lingkungan. Perlindungan lingkungan hidup dianggap prinsipil berlawanan dengan pembangunan. Konsep yang dikembangkan di kalangan pakar lingkungan hidup yang menyatakan bahwa konservasi lingkungan hidup tidak berarti membiarkan sumbardaya alam tidak berguna bagi pembangunan, tidak banyak membantu untuk mengatasi kontroversi lingkungan hidup dan pembangunan. Berdasarkan anggapan adanya kontroversi itu kita diharuskan memilih pembangunan dulu atau lingkungan hidup dulu. Karena tingkat hidup kita masih rendah , pembangunan harus didahulukan.

Manusia Sebagai Perusak

Sikap tidak ramah pada lingkungan hidup meluas pada masyarakat. Untuk mendapatkan keuntungan atau kenikmatan pribadibanyak anggota masyarakat yang merusak lingkungan, meskipun tahu akibat dari perbuatannyaitu. Untuk memaksimumkan keuntungan opara usahawan merasa tak bersalah merusak lingkungan hidup.

Dalam era sekarang secara umum kedududkan lingkungan hidup tidak berubah. Masih tetap di pinggiran. Komitmen pemerintah pada pembangunan ramah lingkungan tidak jelas. Yang jelas kerusakan lingkungan hidup, hutan serta pencemaran air dan udara misalnya terus berlanjut, misalnya PT. Indorayon utama dan organisme transgenik.

Pengrusakan hutan yang dilindungipun terjadi tanpa adanya protes yang berarti dari masyarakat. Kasus lain ialah pembalakan illegal kayu ramin dalam taman nasional Tanjung Putting, Kalimantan Tengah, yang menggunakan rel kereta api lori dan ditayangkan dalam televisi. Juga tidak menimbulkan protes masyarakat. Dalam kasu Taman Nasional Gunng Leuser jelas pemerintah yang memberi izin, sedangkan Taman Nasional Tanjung Puting oknum yang memberi izin, aparat tidak mengetahuinya, karena lorti sangat mencolok dan dan tak dapat disembunyikan. Yang memprihatinkan juga sikap kita terhadap kebakaran hutan. Waktu kebakaran kita ribut. Segala dana dan tenaga dikerahkan untuk menanggulanginya, terutama pada kebakaran besar dalam tahun El- Nino.

Dalam musim kemarau kita menderita berpuluh-puluh, bahkan ratusan milyar rupiah disalurkan untuk mendanai berbagai proyek darurat untuk menanggulangi kekurangan air. Kegagalan panen dan kebakaran hutan. Koranpun memberitakannya dengan luas. Tetapi bila musim kemarau berlalu dan musim hujan tiba kita lupa pada kekurangan air dan kebakaran hutan. Proyek darurat terlupakan. Dana mongering dan proyek terhenti. Koran juga berhenti mengulas dan mengingatkannya.

Dalam musim hujan sawah, desa dan kota diterjang banjir, jalan putus. Tanah longsor meminta korbannya, lagi bermilyar rupiah anggaran dialokasikan untuk proyek darurat penanggulangan banjir dan tanah longsor serta para korbannya. Ini adalah suatu contoh bagi manusia mengelola ekosistemnya secara tidak benar (merusak), sehingga bencana yang ditimbulkan merupakan dampak buruk bagi aktivitas yang dilakukan.

Manusia Sebagai Pengelola

Kebuadayaan mempengaruhi sikap manusia terhadap lingkungan hidup atau ekosistemnya. Kita mempunyai ajaran untuk hidup serasi dengan sesama manusia, lingkungan hidup dan Tuhan. Ajaran ini dijadikan landasan resmi untuk pembangunan berwawasan lingkungan. Ajaran agama Islam , misalnya Islam , dengan eksplisit menyatakan untuk tidak hidup secara berlebihan dan merusak lingkungan hidup. Budaya yang umum nampak pada budaya manusia ialah justru bosros, sering samapai pada tingkat hidup lebih besar pasak dari pada tiang. Salah satu doroingan untuyk pola hidup yang konsumtif ini ialah budaya tidak pantas. Tidak pantaslah baginya untuk berjalan misalnya ke tempat kerja yang letaknya tidak jauh dari tempatnya. Orang ingin menunjukkan status sosialnya dengan symbol materi. Materi juga merupakan symbol sukses dan modernitas. Memiliki rumah besar dan beberapa mobil merupakan symbol sukses. Makin tinggi kelas mobilnya, makin tinggi pula symbol kesuksesannya.

Budaya pantas yang mengacu perlombaan untuk mencapai symbol status tertinggi membutuhkan dukungan dana yang tinggi pula sehingga orang yang dipacu untuk mendapatkan pendapatan sebesar-besarnya. Akibat laju deplesi sumberdaya alam terus meningkat, antara lain hutan, lahan pegunungan untuk peristrirahatan dan minyak bumi. Terjadilah kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup dengan laju yang tinggi.

Membabat hutan dan mengkoversikannya menjadi tempat pemukiman, sawah ladang membuat hutan menjadi rejo (makmur dan ramai). Babat alas juga digunakan sebagai kiasan pembuatan kepeloporan terpuji. Misalnya seorang yang mempelopori pembangunan gedung sekolah dapat mengatakan dengan bangga bahwa ialah yang melakukan babat alas.

Dikalangan ilmiah berkembang anggapan b ahwa suku-suku yang hidup di tengah hutan hidup dengan akrab dengan hutan karena hutan merupakan habitat mereka. Mereka tidak mempunyai ketakutan dengan hutan, melainkan mereka merasa aman di dalamnya. Mereka mengeloala hutan dengan bijaksama berdasarkan kearifan ekologi yang mereka dapatkan secara turun-menurun dari nenek moyang mereka. Menurut para ilmuan takut pada hutan bukaan, yaitu hutan yang secara tradisional mereka gunakan untuk bermukim dan untuk berladang, tetapi hutan tutupan atau larangan yang berupa hutan perawan yang lebat dan tidak boleh dibuka untuk perladangan, mereka anggap angker juga. Mereka takut padanya. Memasukinya harus berbekal mantera kepala suku atau orang tua untuk menolak bahaya fisik maupun bahaya mistik. Tak berani mereka menebang hutan ataupun membunuh hewan di dalamnya. Ketakutan ini lalu diromantiser menjadi kearifan ekologi yang berlaku untuk segala jenis hutan. Padahal jika hutan dibuka oleh pemilik HPH dan hutan berubah menjadi hutan sekunder yang tak lebat, ketakutan itu hilang. Mereka mengkuti jalur jalan pembalakan dan berladang ditempat yang semula tidak mereka sentuh. Pembalakan ini bersifat opportunistik dengan mengabaikan banyak cara tradisional mereka, misalnya memilih hutan dengan fase pertumbuhan yang sesuai untuk perladangan. Inilah cara bagaimana manusia mengelola sumber daya alam (hutan) secara arif maupun dengan melanggar aturan alam yang menjadi pegangan manusia untuk itu.

Penutup

Manusia sebagai suatu bagian dalam ekosistim dapat bersifat merusak dan dapat bersifat mengelola tergantung dari sudut mana serta manfaat yang ingin diperoleh, tetapi kadangkala dampak pembangunan justru menjadikan ekosistem tersebut menjadi rusak walaupun kearifan lingkungan sudah didekati sudah benar. Hal ini bisa dilihat dalam pengelolaan hutan yang didasarkan dengan system tradisional, misalnya perladangan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdulrachman, S. Sukmana, and J.H. French, A Framework for Compilation of Applied Research Information on Hillslope: Farming, Conservation Policies for Sustainable Hillslope Farming, 1992.

2. Hidayat Pawitan dan Daniel Murdiyarso, Monitoring dan Evaluasi Komponen Biofisik DAS, Lokakarya Pembahasan Hasil Penelitian dan Analisis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Garut, 20-24 November 1995.

3. Norman W. Hudson, A Study of The Reasons for Success or Failure of Soil Conservation Proyect, Soil Resources, Management and Conservation Service, FAO Land and Water Development Division, Silsoe Agricukture Assosiates ampthill Bellford United Kingdom FAO Soils Bulletin 64, 1991.

4. --------, Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering di Indonesia, Kumpulan Informasi, Bogor, April, 1997.

5. State Ministry for Environment Republic of Indonesia & United Nations Development Programme, AGENDA 21-INDONESIA, A Nasional Strategy for Sustainable Development.

6. S.C. Walpole, Integration of Economic and Biophysical Information to Assess The Site-specific Profitability of Land Management Programmes Using a Geographic Information Systems, New South Wales, Australia.

OTONOMI DAERAH

By: Iswara Gautama

Pengertian Otoda

Otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 memuat tentang pemerintahan daerah yang intinya tentang pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah (power sharing), sedangkan undang-undang No. 25 Tahun 1999 isinya tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (financial sharing).

Otonomi daerah menurut undang-undang 22/ 1999 mempunyai penekanan yang sangat berbeda dengan otonomi daerah (OTDA) pada masa lampau. Penekanan Otda pada masa lampau lebih merupakan kewajiban dari pada hak, sedangkan otda sekarang lebih menekankan hak dan kewajiban. Dalam UU No. 22/1999 pemberian otonomi daerah kepada kabupaten /kota didasarkan pada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Makna otda adalah mempercepat terselanggaranya publik serta fasilitas kepada masyarakat agar percepatan pertumbuhan ekonomi dapat dicapai.

Penyelenggaan otda dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas nyata dan bertanggung jawab kepada daerah kabupaten/kota secara proporsional y ang diwujudkan dengan peraturan, dan pemanfaatan nasional yang berkeadilan, serta adanya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Penyelenggaraan otda dilaksanakan dengan perinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Dengan kedua undang-undang tersebut dapat membuka peluang untuk mempercepat wujudnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di daerah secara lebih merata. Hal ini disebabkan karena terjadinya migrasi kapital dan investasi dari pusat ke daerah-daerah. Pelaksanaan otda diharapkan dapat meningkatkan peran pemerintah daerah secara lebih efisien dan efektif dalam pengelolaan dan penanganan sumberdaya alam. Dengan otda pemerintah daerah akan memperoleh bagian dana pembangunan secara lebih proporsional. Daerah lebih leluasa dalam menentukan skala prioritas pembangunan daerahnya, tanpa harus didikte oleh pusat. Selain itu kedua undang-undang tersebut apabila dilaksanakan dengan tepat dapat memberikan harapan dan prospek yang baik bagi penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat ke depan. Dari sisi penyelengaraan masyarakat dengan adanya pelimpahan kewenangan, maka pengambilan kebijakan dapat didekatkan dengan masyarakat. Dengan demikian penyelengaaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat akan semakin memenuhi keinginan masyarakat, teratur, efektif dan efisien.

Dilihat dari dukungan pembiayaan, penyelenggaraan otda diberbagai daerah mempunyai prospek yang baik karena disamping mempunyai wilayah yang luas, juga terkandung SDA yang potensial. Secara mendasar SDA masih menjadi komponen sumber pendapatan daerah yang signifikan yang tercermin dari dana perimbangan keuangan. Antara lain meliputi bagian daerah dari pembinaan PBB, BPHTB, SDA alokasi umum dan alokasi khusus. Sumber pendapatan daerah yang berasal dari perimbangan keuangan merupakan komponen yang terbesar apabila dikelola secara optimal, sebagai contoh 80 % dari penerimaan negara dari SDA sector kehutanan, pertambangan umum dan sector perikanan akan diberikan kepada daerah.

Dengan demikian penyelenggaraan otda menjadi instrumen untuk mengoptimalkan pemberdayaan sumberdaya daerah, sehingga pada gilirannnya daerah mampu menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pembangunan. Dalam kaitan ini maka keberhasilan penyelengaraan otda akan sangat tergantung kepada kemampuan potensi dan sumberdaya daerah (SDM dan SDA) serta infra struktur dan supra struktur lainnya yang ada di daerah.

Perjalanan otonomi daerah yang kini baru berlangsung selama dua tahun mengalami pasang surut dengan ditandai adanya kontroversi antara pemertintah pusat dan daerah.

Pada awal dilaksanakannya otonomi daerah, empat kondisi yang diidentifikasi sebagai kelemahan daerah dijadikan pemicu kontroversi. Pemerintah daerah dianggap belum siap melaksanakan otonomi karena masih lemah dari segi :

t Ketersediaan SDM

t Keuangan

t Peralatan dan

t Organisasi dan manajemen.

Isu sentral yang dikemukakan disamping kelemahan daerah ini ialah para bupati telah kebablasan mendefinisikan otonomi daerah dan munculnya raja-raja kecil di daerah. Perdebatan mengenai otonomi daerah berlanjut pada pengkondisian untuk merevisi untuk merevisi UU No. 22 tahun 1999.

Hakekat dari revisi undang-undang ini adalah pengembalian pelaksanaan otonomi daerah ke pusat (resentralisasi). Tekanan pisikologis dalam upaya resentralisasi ini cukup kuat. Beberapa kewenangan yang sebelumnya diserahkan kepada daerah, ditarik kembali ke pusat dan pengguliran dana perimbangan yang diantaranya terdapat dana bagi hasil SDA daerah selalu terlambat dicairkan.

Dampak dari realisasi pencairan dana yang selalu terlambat sangat mengganggu pembangunan di daerah. Selain proyek-proyek pembangunan yang sudah diprogramkan terhambat, pemerintah daerah juga terlilit defisit anggran karena harus membiayai lebih dahulu proyek yang sudah dilaksanakan. Daerah yang tidak memiliki sumber keuangan yang cukup, terpaksa menghentikan proyek pembangunanan sebelum dana perimbangan cair.

Kondisi ini menimbulkan reaksi yang cukup kertas dari bupati dan walikota se Indones. Disamping itu reaksi juga datang dari tokoh masyarakat, DPRD, LSM, Mahasiswa, kalangan akademisi, dan komponen masyarakat lainnya. Mereka bersatu menuntut keadilan kepada pemerintah pusat . Disisi lain gubernur se Indonesia secara intensif melakukan pendekatan kepada pemerintah pusat untuk merevisi UU No. 22 Tahun 1999. Kotroversi ini relatif mereda setelah revisi diganti menjadi evaluasi.

Untuk itu pemerintah pusat dan provinsi harus konsisten didalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketidak konsistennya pemerintah pusat dapat dilihat antara lain, dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2000, yang mengatur kembali kewenangan di bidang pertanahan. Demikian halnya dibidang kehutanan melalui Keputusan Mentri Kehutanan No. 541/Kpts-II/2000.

Dampak Otonomi Daerah

Sumberdaya alam merupakan modal penting dalam menggerakkan roda pembangunan di suatu daerah, baik dalam konteks negara, propinsi ataupun kabupaten. Oleh karenanya, aspek pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) merupakan suatu yang sangat strategis dalam menentukan jumlah penerimaan atau tingkat kontribusinya dalam menentukan modal pembangunan. Pengelolaan SDA dalam persepektif otonomi daerah pada dasarnya adalah power sharing kewenangan pengelolaan SDA antara pemerintah pusat dengan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.

Menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, kewenangan pendayagunaan sumberdaya alam strategis berada pada pemerintah pusat (pasal 7), walaupun demikian daerah berewewenang untuk mengelola sumberdaya nasional ( sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya manusia) yang tersedia di wilayahnya (pasal 10 dan penjelasannya).

Beberapa masalah yang mungkin timbul sehubungan dengan adanya otonomi ini antara lain adalah:

Timbulnya daerah miskin dan kaya. Seperti yang dikemukakan, penyebaran SDA di Indonesia tidak merata sehingga akan terdapat darah yang kaya dan miskin potensi SDA. Secara nasional, kemungkinan akan menimbulkan ketimpangan kesejahtraan.

Konflik pemanfaatan sumberdaya lintas Kabupaten/Kota. Misalnya pemanfaatan sungai atau daerah tangkapan di daerah hulu, berdampak negatif terhadap kabupaten daerah hilir. Sementara pemeliharaan sungai atau daerah tangkapan hujan yang dilakukan oleh kabupaten di daerah hulu belum tentu mendapat insentif dari kabupaten daerah hilir. SDA lainnya adalah hutan dan mineral yang terdapat dalam satu hamparan yang berbatasan antar kabupaten.

Konflik pemanfaatan sumberdaya open access (laut), misalnya nelayan yang berasal dari suatu kabupaten lain.

Pengurasan SDA, untuk mengejar ketinggalannya suatu kabupaten/kota akan mengeksploitasi sumberdaya secara besar-besaran untuk mendapatkan dana pembangunan, mengorbankan kepentingan jangka panjang untuk kepentingan jangka pendek.

Potensi sumberdaya manusia; kualitas sumberdaya manusia antara lain ditentukan dengan penguasaan ilmu, teknologi, teknologi dan informasi. Kita harus mengakui realita bahwa masih banyak daerah-daerah yang potensi simberdaya manusia masih rendah, Ini sangat berpengaruh terhadap produktivitas, efektivitas dan efesiensi pemanfaatan SDA.

Pembangunan di suatu daerah otonom memperlihatkan kecendrungan untuk meletakkan tekanan utama pada maksimisasi manfaat ekonomi bersih (net economic benefit) sebagai kriteria bagi pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam. Pada sektor kehutanan, suhendang (2000) mengkuatirkan akan mendorong terjadinya fragmentasi lahan hutan produktif kebagian-bagian ekosistem dan kesatuan pengelolaan yang sempit. Hal ini terjadi sebagai akibat tingginya tuntutan pemerintah daerah terhadap hutan guna memenuhi kebutuhan yang bersifat segera untuk membiayai pembangunan daerah. Hal ini mungkin juga terhadap SDA alaml ainnya.

Apa yang Harus Dilakukan

Formulasi pemecahan berbagai problem dasar tersebut memerlukan berbagai pemikiran dan diskusi untuk mencari pemecahannya. Kerja keras yang sistimatis dan terus menerus sangat diperlukan untuk mencapai tujuan pelaksana otonomi daerah. Partisipasi aktif dari semua lapisan masyarakat untuk menggalang sumber daya sangat diperlukan. Oleh karena itu kesiapan masing-masing daerah dalam menyikapi pemberlakuan undang-undang tersebut sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.

Ditinjau dari sudut ekonomi, SDA merupakan bahan baku yang dapat dijadikan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan hidup. Sedangkan ditinjau dari sudut ekologis, SDA merupakan komponen ekosistem ( biotik dan abiotik) yang sangat berperan sebagai life support system manusia dan selalu berada dalam keadaan keseimbangan yang dinamis. Sebagai komponen ekosistem, seluruh jenis SDA saling berinteraksi satu sama yang lain, perubahan yang terjadi pada salah satu komponen akan menyebabkan terjadinya perubahan pada komponen yang lain. Apabila perubahan, yang terjadi melebihi daya lentingnya, maka keseimbangan ekosistem tersebut akan merubah menuju keseimbagan yang baru. Karena karateristik dan kelangsungan ekonomi suatu negara yang ditentkan oleh SDA-nya maka perubahan yang terjadi pada ekosistem (lingkungan) akan berdampak pada perubahan ekonomi.

Pengelolaan SDA berkaitan dengan proses produksi dan konsumsi yang tunduk pada Hukum Thermodinamika I dan Hukum Thermodinamika II. Sebagai implikasinya jika kita ingin melaksanakan pembangunan berkelanjutan, maka pengelolaan SDA tersebut perlu dilakukan secara bijaksana, yaitu dengan mempertimbangkan dan mendasarkan pada karateristik SDA yang bersifat spesifik (Owen, 1980) pengelolaan SDA hendaknya didasarkan pada prinsip sebagai berikut:

1. Tanggung jawab pribadi; tanggung jawab seorang warga negara yang demokratis ditandai dengan rasa tanggung jawab dalam menjalankan kewajiban terhadap pemerintah, sesama manusia, dan SDA.

2. Peranan pemerintah; pemerintah sebagai regulator dalam pengelolaan sumberdaya alam mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena itu pemerintah harus mampu menciptakan suatu system yang dapat menjamin pemanfaatan SDA secara tepat

3. Penggunaan ganda suatu SDA; ketersediaan SDA umumnya terbatas, untuk meningkatkan manfaat SDA dan menghindari konflik kepentingan,maka sedapat mungkin SDA dipergunakan secara ganda

4. Inventarisasi dan proyeksi penggunaan SDA; inventarisasi yang menyeluruh dan proyeksi penggunaan SDA dapat memperkirakan tingkat kecukupan SDA dan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaannya

5. Hubungan pertautan antar suberdaya; antara SDA yang satu dengan SDA yang lain terjalin suatu keterkaitan, perubahan yang terjadi pada suatu SDA akan menyebabkan perubahan terhadap SDA lainnya.

Penutup

Pelaksanaan Otonomi daerah yang sudah berlangsung kurang lebih 4 tahun telah mewarnai kemampuan setiap daerah yang mempunyai sumberdaya yang masing-masing berbeda dan telah berdampak kurang baik terhadap pengelolaan SDA. Kemampuan daerah yang menafsirkan otonomi daerah secara benar akan memanfaatkan sumberdayanya secara lebih baik efisien demikian sebaliknya.

Penafsiran UU No. 22 tahun 1999 harus lebih transparan dan benar terutama mengenai masalah perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang lebih adil dan merata, sehingga SDA dapat dimanfaatkan lebih hemat dan berkelanjutan.

Daftar Pustaka

1. Abdulrachman, S. Sukmana, and J.H. French, A Framework for Compilation of Applied Research Information on Hillslope: Farming, Conservation Policies for Sustainable Hillslope Farming, 1992.

2. Hidayat Pawitan dan Daniel Murdiyarso, Monitoring dan Evaluasi Komponen Biofisik DAS, Lokakarya Pembahasan Hasil Penelitian dan Analisis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Garut, 20-24 November 1995.

3. Norman W. Hudson, A Study of The Reasons for Success or Failure of Soil Conservation Proyect, Soil Resources, Management and Conservation Service, FAO Land and Water Development Division, Silsoe Agricukture Assosiates ampthill Bellford United Kingdom FAO Soils Bulletin 64, 1991.

4. Owen, O.S. 1980. Natural Resources Concervatio: An Ecological Approach . Third Edition. Macmillan Publishing Co., Inc 866 . Third Evenue, New York 10022 883 hal.

5. Suhendang, E. 2000. Fragmentasi Lahan Hutan, Sebuah Ancaman ? Diskusi Panel Otonomi Daerah dan Pengelolaan Kehutanan dan Perkebunan. Diselenggarakan atas kerjasama PPLH IPB dengan Komite Reformasi.