Rabu, 12 November 2008

MANUSIA DALAM EKOSISTEM

By: Iswara Gautama

Pendahuluan

Manusia selalu berusaha mengubah lingkungan untuk memperoleh keperluannya. Kadang-kadang dalam kegiatan demikian manusia seolah-olah mengganggu, dan bahkan dapat merusak komponen-komponen biotic. Manusia adalah heterotrop dan paghotrop yang tumbuh dengan subur dekat penghunjung rantai-rantai makan yang kompleks. Ketergantungannya dari lingkungan alam tetap akan terjadi, tidak peduli bagaimanapun rumitnya teknologi yang dimilikinya.

Kota-kota besar merupakan parasit semata dalam biosfir. Makin besar kota imakin banyak mereka meinta dari daerah pinggiran di sekitarnya dan makin besar bahaya serta kemungkinan dari pengrusakan lingkungannya. Sedemikian jauh manusia dengan ilmu pengetahuan dan tehnologinya telah sibuk menaklukkan alam sehingga kurang memperhatikan dan menenggang kesejahtraan mahluk hidup lain sebagai penghuni dalam ekosistem ini.

Setiap orang mempengaruhi lingkungan hidupnya. Makin besar jumlah orangnya, makin besar pula potensi dampaknya. Penelitian di dalam dan di luar negeri menunjukkan bahwa hal ini terjadi juga dalam masyarakat tradisional. Dengan pertumbuhan jumlah penduduknya mereka melakukan eksploitasi lebih pada sumber daya alamnya sehingga terjadi kerusakan. Kerusakan yang terjadi umumnya tidak besar dan luas karena jumlah penduduknya yang kecil dan teknologi yang digunakan sederhana. Tetapi sejarah mencatat juga keambrukan negara karena kerusakan lingkungan hidup misalnya, Mesopotamia. Di daerah pedesaan Jawa Barat kolam ikan yang digunakan untuk mendaur ulang kan limbah domestik, tingkat pencemarannya meningkat seiring dengan kenaikan jumlah penduduknya sehingga kini menjadi sumber penting infeksi penyakit muntah berak.

Jumlah penduduk Indonesia masih mengalami pertumbuhan, walaupun laju pertumbuhannya menunjukkan kecendrungan menurun. Karena itu potensi dampak penduduk terhadap lingkungan hidup akan terus naik. Kenaikan jumlah penduduuk di pedesaan yang tidak memberikan lapangan pekerjaan yang memadai dalam jumlah dan kualitas, mendorong orang untuk beremigrasi ke perkotaan sehingga laju pertumbuhan penduduk di perkotaan meningkat. Sementara itu kemampuan kota untuk memberikan layanan sanitasi masih terbatas sehingga terjadi pencemaran. Misalnya, riul dan selokan tercemar berat oleh limbah domestik.

Bersamaan dengan kenaikan jumlah penduduk, pendapatan kita juga mengalami kenaikan. Kenaikan pendapatan dan perngaruh pola hidup konsumtif yang disebarkan melalui advertensi yang canggih telah mendorong kita untuk mengikuti pola hidup ini. Pola hidup ini mempunyai dua dampak terhadap lingkungan hidup. Pertama, pola ini membutuhkan dana yang makin besar. Untuk mendapatkan dana eksplotasi sumber daya kita makin meningkat dan telah mencapai tingkat yang membahayakan, misalnya pada hutan dan terumbu karang kita. Kedua, tingkat konsumsi kita meningkat mulai dari makanan dan kemasannya sampai pada BBM. Limbah yang kita hasilkan perorang makin besar. Padahal jumlah penduduk juga bertambah. Sementara itu pendapatan kita untuk menangani sampah masih terbatas. Akibatnya di daerah pedesaan banyajk sampah yang masih berserakan. Diperkotaan lebih-lebih lagi. Hanya sebagian yang terangkut menumpuk atau berserakan dan menjadi masalah kesehatan. Bayak pula penduduk yang berusaha memusnahkan sampah dengan membakarnya. Cara ini menghasilkan zat-zat pencemar yang berbahaya. Pembakaran sampah dengan instalasi insinerator perlu juga dilakukan dengan hati-hati, karena banyak insinerator di negara maju ternayata menghasilkan dioxin. Sampah yang terangkut tidak dikelola dengan baik. Tempat pembuangan akhir sampah umumnya menjadi sumber penyakit yang ditularkan oleh hewan, seperti lalat dan tikus.

Pada taraf perkembangan kita sekarang teknlogi belum merupakan sarana untuk mengurangi dampak lingkungan hidup, malahan lebih merupakan faktor yang memperparah dampak. Misalnya, peberian mesin gergaji kepada masyarakat tradisional yang hidup di daerah hutan telah mempercepat penggundulan hutan dan industri kita dengan mesinnya yang tidak efisien energi mempertinggi pencemaran. Demikian pula pengguanaan kendaraan bermotor yang berlebihan telah menyebabkan pencemaran udara yang serius.

Nampaknya peningkatan pendapatan kita telah menyebabkan peningkatan kerusakan lingkungan hidup. Usaha untuk mengubah dampak jumlah penduduk , pendapatan dan teknologi terhadap lingkungan, memerlukan perubahan dalam sikap dan kelakuan kita terhadap lingkungan hidup. Namun adanya krisis lingkungan yang mengancam keberlanjutan pemabngunan kita baik karena dampaknya pada lingkungan biogeofisik maupun lingkungan sosek tidak disadari oleh para pejabat,pakar, kaum elit politik , usahawan dan masyarakat umum. Lingkungan hidup dianggap sebagai isu marjinal. Secara vokal kita memang menunjukkan kesadaran lingkungan hidup yang tinggi, tetapi kerusakan lingkungan hidup dan kerugian yang kita derita menujukkan hal sebaliknya kita berbuat sewenang-wenang pada lingkungan hidup kita.

Sikap terhadap Lingkungan hidup

Prinsip pembangunan berwawasan lingkungan ialah memasukkan faktor lingkungan hidup dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian dampak negatif yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dibatasi samapai pada batas yang minimum. Pembangunan itu bersifat ramah lingkungan. Tetapi walaupun pembangunan ramah lingkungan telah kita setujui bersama, pelaksanaannya menghadapi hambatan besar. Para birokrat, pakar ekonomi, usahawan dan bahkan juga pakar lingkungan hidup berpegangan pada tesis bahwa melindungi lingkungan hidup memerlukan biaya, baik biaya riil maupun baiay kesempatan (opportunity cost). Misalnya, membiarkan hutan sebagai hutan taman nasional yang tidak di balak dan tidak mengembangkan daerah pegunungan untuk pemukiman berarti kehilangan kesempatan untuk menikmati hasil kayu hutan dan pariwisata daerah pegunungan itu. Pembangunan pengolahan limbah industri juga membutuhkan biaya. Dengan demikian pembangunan ramah lingkungan dianggap memerlukan biaya tambahan sehingga mahal. Sebagai bangsayang masih melarat, kita belum mampu menyediakan biaya tambahan untuk pembangunan ramah lingkugan itu. Dengan demikian kita berpendapat sulitlah bagi kita untuk melaksanakan pembangunanramah lingkungan. Perlindungan lingkungan hidup dianggap prinsipil berlawanan dengan pembangunan. Konsep yang dikembangkan di kalangan pakar lingkungan hidup yang menyatakan bahwa konservasi lingkungan hidup tidak berarti membiarkan sumbardaya alam tidak berguna bagi pembangunan, tidak banyak membantu untuk mengatasi kontroversi lingkungan hidup dan pembangunan. Berdasarkan anggapan adanya kontroversi itu kita diharuskan memilih pembangunan dulu atau lingkungan hidup dulu. Karena tingkat hidup kita masih rendah , pembangunan harus didahulukan.

Manusia Sebagai Perusak

Sikap tidak ramah pada lingkungan hidup meluas pada masyarakat. Untuk mendapatkan keuntungan atau kenikmatan pribadibanyak anggota masyarakat yang merusak lingkungan, meskipun tahu akibat dari perbuatannyaitu. Untuk memaksimumkan keuntungan opara usahawan merasa tak bersalah merusak lingkungan hidup.

Dalam era sekarang secara umum kedududkan lingkungan hidup tidak berubah. Masih tetap di pinggiran. Komitmen pemerintah pada pembangunan ramah lingkungan tidak jelas. Yang jelas kerusakan lingkungan hidup, hutan serta pencemaran air dan udara misalnya terus berlanjut, misalnya PT. Indorayon utama dan organisme transgenik.

Pengrusakan hutan yang dilindungipun terjadi tanpa adanya protes yang berarti dari masyarakat. Kasus lain ialah pembalakan illegal kayu ramin dalam taman nasional Tanjung Putting, Kalimantan Tengah, yang menggunakan rel kereta api lori dan ditayangkan dalam televisi. Juga tidak menimbulkan protes masyarakat. Dalam kasu Taman Nasional Gunng Leuser jelas pemerintah yang memberi izin, sedangkan Taman Nasional Tanjung Puting oknum yang memberi izin, aparat tidak mengetahuinya, karena lorti sangat mencolok dan dan tak dapat disembunyikan. Yang memprihatinkan juga sikap kita terhadap kebakaran hutan. Waktu kebakaran kita ribut. Segala dana dan tenaga dikerahkan untuk menanggulanginya, terutama pada kebakaran besar dalam tahun El- Nino.

Dalam musim kemarau kita menderita berpuluh-puluh, bahkan ratusan milyar rupiah disalurkan untuk mendanai berbagai proyek darurat untuk menanggulangi kekurangan air. Kegagalan panen dan kebakaran hutan. Koranpun memberitakannya dengan luas. Tetapi bila musim kemarau berlalu dan musim hujan tiba kita lupa pada kekurangan air dan kebakaran hutan. Proyek darurat terlupakan. Dana mongering dan proyek terhenti. Koran juga berhenti mengulas dan mengingatkannya.

Dalam musim hujan sawah, desa dan kota diterjang banjir, jalan putus. Tanah longsor meminta korbannya, lagi bermilyar rupiah anggaran dialokasikan untuk proyek darurat penanggulangan banjir dan tanah longsor serta para korbannya. Ini adalah suatu contoh bagi manusia mengelola ekosistemnya secara tidak benar (merusak), sehingga bencana yang ditimbulkan merupakan dampak buruk bagi aktivitas yang dilakukan.

Manusia Sebagai Pengelola

Kebuadayaan mempengaruhi sikap manusia terhadap lingkungan hidup atau ekosistemnya. Kita mempunyai ajaran untuk hidup serasi dengan sesama manusia, lingkungan hidup dan Tuhan. Ajaran ini dijadikan landasan resmi untuk pembangunan berwawasan lingkungan. Ajaran agama Islam , misalnya Islam , dengan eksplisit menyatakan untuk tidak hidup secara berlebihan dan merusak lingkungan hidup. Budaya yang umum nampak pada budaya manusia ialah justru bosros, sering samapai pada tingkat hidup lebih besar pasak dari pada tiang. Salah satu doroingan untuyk pola hidup yang konsumtif ini ialah budaya tidak pantas. Tidak pantaslah baginya untuk berjalan misalnya ke tempat kerja yang letaknya tidak jauh dari tempatnya. Orang ingin menunjukkan status sosialnya dengan symbol materi. Materi juga merupakan symbol sukses dan modernitas. Memiliki rumah besar dan beberapa mobil merupakan symbol sukses. Makin tinggi kelas mobilnya, makin tinggi pula symbol kesuksesannya.

Budaya pantas yang mengacu perlombaan untuk mencapai symbol status tertinggi membutuhkan dukungan dana yang tinggi pula sehingga orang yang dipacu untuk mendapatkan pendapatan sebesar-besarnya. Akibat laju deplesi sumberdaya alam terus meningkat, antara lain hutan, lahan pegunungan untuk peristrirahatan dan minyak bumi. Terjadilah kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup dengan laju yang tinggi.

Membabat hutan dan mengkoversikannya menjadi tempat pemukiman, sawah ladang membuat hutan menjadi rejo (makmur dan ramai). Babat alas juga digunakan sebagai kiasan pembuatan kepeloporan terpuji. Misalnya seorang yang mempelopori pembangunan gedung sekolah dapat mengatakan dengan bangga bahwa ialah yang melakukan babat alas.

Dikalangan ilmiah berkembang anggapan b ahwa suku-suku yang hidup di tengah hutan hidup dengan akrab dengan hutan karena hutan merupakan habitat mereka. Mereka tidak mempunyai ketakutan dengan hutan, melainkan mereka merasa aman di dalamnya. Mereka mengeloala hutan dengan bijaksama berdasarkan kearifan ekologi yang mereka dapatkan secara turun-menurun dari nenek moyang mereka. Menurut para ilmuan takut pada hutan bukaan, yaitu hutan yang secara tradisional mereka gunakan untuk bermukim dan untuk berladang, tetapi hutan tutupan atau larangan yang berupa hutan perawan yang lebat dan tidak boleh dibuka untuk perladangan, mereka anggap angker juga. Mereka takut padanya. Memasukinya harus berbekal mantera kepala suku atau orang tua untuk menolak bahaya fisik maupun bahaya mistik. Tak berani mereka menebang hutan ataupun membunuh hewan di dalamnya. Ketakutan ini lalu diromantiser menjadi kearifan ekologi yang berlaku untuk segala jenis hutan. Padahal jika hutan dibuka oleh pemilik HPH dan hutan berubah menjadi hutan sekunder yang tak lebat, ketakutan itu hilang. Mereka mengkuti jalur jalan pembalakan dan berladang ditempat yang semula tidak mereka sentuh. Pembalakan ini bersifat opportunistik dengan mengabaikan banyak cara tradisional mereka, misalnya memilih hutan dengan fase pertumbuhan yang sesuai untuk perladangan. Inilah cara bagaimana manusia mengelola sumber daya alam (hutan) secara arif maupun dengan melanggar aturan alam yang menjadi pegangan manusia untuk itu.

Penutup

Manusia sebagai suatu bagian dalam ekosistim dapat bersifat merusak dan dapat bersifat mengelola tergantung dari sudut mana serta manfaat yang ingin diperoleh, tetapi kadangkala dampak pembangunan justru menjadikan ekosistem tersebut menjadi rusak walaupun kearifan lingkungan sudah didekati sudah benar. Hal ini bisa dilihat dalam pengelolaan hutan yang didasarkan dengan system tradisional, misalnya perladangan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdulrachman, S. Sukmana, and J.H. French, A Framework for Compilation of Applied Research Information on Hillslope: Farming, Conservation Policies for Sustainable Hillslope Farming, 1992.

2. Hidayat Pawitan dan Daniel Murdiyarso, Monitoring dan Evaluasi Komponen Biofisik DAS, Lokakarya Pembahasan Hasil Penelitian dan Analisis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Garut, 20-24 November 1995.

3. Norman W. Hudson, A Study of The Reasons for Success or Failure of Soil Conservation Proyect, Soil Resources, Management and Conservation Service, FAO Land and Water Development Division, Silsoe Agricukture Assosiates ampthill Bellford United Kingdom FAO Soils Bulletin 64, 1991.

4. --------, Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering di Indonesia, Kumpulan Informasi, Bogor, April, 1997.

5. State Ministry for Environment Republic of Indonesia & United Nations Development Programme, AGENDA 21-INDONESIA, A Nasional Strategy for Sustainable Development.

6. S.C. Walpole, Integration of Economic and Biophysical Information to Assess The Site-specific Profitability of Land Management Programmes Using a Geographic Information Systems, New South Wales, Australia.

Tidak ada komentar: